Kawasan hutan Indonesia, khususnya Kawasan konservasi memiliki potensi jasa lingkungan yang sangat besar untuk dikembangkan. Salah satu potensi jasa lingkungan dari Kawasan konservasi adalah pemanfaatan wisata alam yang telah terbukti menjadi salah satu sector andalan dalam meningkatkan pertumbuhan nasional dan daerah. Namun, selain berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, pemanfaatan wisata alam pada Kawasan konservasi juga menimbulkan persoalan baru, diantaranya persoalan timbulan sampah yang berakibat terjadinya pencemaran lingkungan. Untuk memperkuat kebijakan tata kelola sampah mandiri pada kegiatan wisata alam, Pusat Keteknikan Kehutanan dan Lingkungan menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) pada Hari Kamis 17 Maret 2022 dengan mengangkat topik “Pengembangan Sarana dan Prasarana Pengelolaan Hutan dan Lingkungan: Kelola Sampah Mandiri dari Kegiatan Wisata Alam”.
Kepala Pusat Keteknikan Kehutanan dan Lingkungan, Asep Sugiharta dalam sambutan pengantarnya mengharapkan diskusi kali ini dapat merumuskan konsep dan strategi pengelolaan sarana prasarana wisata alam dan pengelolaan sarana prasarana penanganan sampah dalam mendukung tata kelola sampah mandiri dari kegiatan wisata alam. Permasalahan yang terjadi di tingkat tapak saat ini adalah pengelolaan sampah masih dilakukan secara konvensional (kumpul, angkut, buang) dan belum menerapkan pemilahan untuk kegiatan 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dalam rangka circular economy di lanskap kawasan hutan dari kegiatan wisata alam. Untuk itu perlu ada strategi pengembangan daerah wisata menjadi kawasan wisata unggulan yang terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan yang baik.
Beberapa pengelola kawasan konservasi telah melakukan upaya penanganan sampah yang timbul dari kegiatan wisata alam. Salah satunya dilakukan oleh Balai Taman Nasional Gunung Rinjani.
Menurut Anggit Haryoso dari Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), total sampah yang dihasilkan dari kegiatan wisata alam di TN Gunung Rinjani pada tahun 2021 sebanyak 5.425 ,61 kg. Dari total tersebut, sebanyak 4.376,46 kg sampah atau 87,30 % dihasilkan dari pendakian dan sisanya sebanyak 689,15 kg sampah atau 12,70% dihasilkan dari kegiatan non pendakian.
Upaya yang telah dilakukan oleh TNGR untuk menangani permasalahan timbulan sampah diantaranya dengan menerapkan aplikasi eRinjani bagi pendaki, sehingga sampah yang dihasilkan oleh pendaki dapat dibawa turun dan dipilah secara mandiri oleh pendaki bersama petugas TNGR di pintu masuk pendakian. Namun upaya tersebut masih belum cukup dan masih diperlukan upaya clean up jalur pendakian oleh petugas TN bekerjasama dengan kelompok masyarakat adat dan stakeholder lain, ungkap Anggit.
Walaupun telah memiliki Master Plan Pengelolaan Sampah dan SOP penanganan sampah di TNGR, masih terdapat kendala dalam penanganan sampah, diantaranya belum konsistennya penerapan prosedur penanganan sampah di semua pintu pendakian, kurangnya dukungan pemerintah daerah setempat, pemberitaan di media terkesan berat sebelah, kurangnya penelitian ilmiah terkait sampah dan lemahnya sanksi bagi pelanggar, ujar Anggit.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Innovative development for eco Awareness (IdeA), Soehartini Sekartjakrarini menyampaikan bahwa pariwisata adalah multidimensi, menuntut pemahaman yang lebih dalam dari sekedar pengetahuan tentang manfaatnya. Kawasan wisata alam mencakup beragam tipe lanskap yang masing-masing memiliki karakter berbeda, baik keunikan, kekhasan, keragaman hayati maupun budaya. Oleh karena itu, konsep ekowisata perlu diterapkan pada setiap tahap perencanan pengembangan kawasan dalam menata lanskap kawasan dan menyinergikan unsur-unsur pengembangan kawasan pariwisata.
Baca juga: Pembangunan Sarana Prasarana Wisata Alam Berbasis Lanskap
Dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan IPB University sekaligus praktisi di bidang persampahan, Arief Sabdo Yuwono selanjutnya menyampaikan bahwa strategi pengelolaan sampah harus dilakukan sesuai ciri khas identitas dan karakter sampah padat dari setiap lokasi pengelolaan (TN, TWA dsb) yang diketahui dari hasil identifikasi dan karakterisasi sampah. Berdasarkan fraksi mayoritas sampah padat yang teridentifikasi, baru dapat ditetapkan pilihan alternatif teknologi yang tepat guna dan memperkirakan kebutuhan SDM dan biayanya.
Pengolahan Limbah Padat Secara Sederhana dan Praktis dilakukan dengan cara memilah sampah organic dan sampah an organic. Sampah organic dari sisa makanan dan tanaman diolah dengan melakukan composting. Sedangkan penanganan sampah an organic dilakukan sesuai kelompok sampahnya. Untuk kelompok sampah metal, kertas dan barang yang memiliki nilai jual, penanganannya dapat bekerjasama dengan pihak ketiga seperti pemulung, sedangkan kelompok sampah plastic diolah dengan cara pyrolysis dan kelompok sisa sampah yang tidak dapat diolah diangkut ke TPS, ungkap Arif.
Dosen Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, IPB University, Eva Rachmawati pada sesi selanjutnya menyampaikan bahwa social capital dibutuhkan dalam pengembangan wisata dan pengurangan sampah. Di dalam pengembangan wisata dan pengurangan sampah dari kegiatan wisata alam dibutuhkan adanya informasi, komunikasi, interaksi, koordinasi dan kolaborasi di antara para pemangku kepentingan.
Hal ini didukung oleh Dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Indonesia, Cindy Rianti Pribadi yang menyampaikan bahwa penanganan sampah dari kegiatan wisata alam di Kawasan konservasi merupakan tanggungjawab seluruh pemangku kepentingan. Namun tidak semua pemangku kepentingan memiliki visi yang sama dalam menangani permasalahan sampah yang ditimbulkan dari kegiatan wisata alam tersebut. Selain itu, yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan sampah adalah tidak seimbangnya 5 aspek yang berperan di dalam pengelolaan sampah, yaitu aspek peraturan, kelembagaan, teknis operasional, peran serta masyarakat dan pembiayaan. Pengelolaan sampah dari kegiatan wisata alam yang ideal adalah melalui pendekatan dan intervensi kelima aspek tersebut, dengan cara membuat peraturan yang jelas dengan target ambisius, melengkapi kelembagaan, mematangkan teknis operasional, mengubah perilaku pengunjung sesaat, dan pembiayaan kolaboratif, ungkap Cindy.
Baca juga: Menangani Sampah dari Kegiatan Wisata Alam
Selanjutnya Direktur Graha Tunggal Informatika, Lius menyampaikan informasi mengenai best practice pengelolaan sampah di kawasan wisata alam Glamping Lake Side Rancabali. Pengelola wisata melakukan pengelolaan sampah organic menjadi kompos dan mengolah sampah an aerobic khususnya sampah plastik menjadi barang-barang seperti mainan yang digunakan kembali di areal wisata alam Glamping Lake Side Rancabali. Dalam mengelola sampah di wilayah kelolanya, pihak pengelola wisata bekerjasama dengan kelompok masyarakat sekitar seperti pesantren dengan memberdayakan para santri untuk menjadi bagian dari tim pengelola sampah di kawasan wisata alam Glamping Lake Side Rancabali.
Dari hasil diskusi, beberapa hal yang perlu ditindaklanjuti ke depan diantaranya dari aspek kebijakan, perlu melakukan inventarisasi dan gap analysis antara kebijakan dan implementasi tata kelola sampah, sebagai bahan untuk memperkuat kebijakan/regulasi tata kelola sampah dari kegiatan wisata alam. Selanjutnya dari aspek kelembagaan, perlu merevitalisasi model-model kelembagaan dan melakukan inventarisasi para pihak serta aturan mainnya dalam tata kelola sampah dari kegiatan wisata alam. Sedangkan dari keberhasilan pembelajaran/best practice di beberapa lokasi wisata alam, perlu dikembangkan dan direplikasi di lokasi wisata alam lain di kawasan hutan dengan memanfaatkan skema kemitraan/pembiayaan kolaboratif.
Diskusi yang dipandu oleh Dr. Soni Trison ini turut dihadiri oleh perwakilan dari Direktorat Pengurangan Sampah, Direktorat Penanganan Sampah, Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi, Pusat Kajian Kebijakan Strategis, Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Jawa, Pusat Fasilitasi Penerapan Standar Instrumen LHK, Balai Besar TN Gunung Gede Pangrango, dan Balai TN Gunung Ciremai.
Jakarta, 17 Maret 2022
Kontributor: Johaerudin, S.Hut., M.Sc (Analis Kebijakan Ahli Muda)