Saat ini, sampah masih menjadi permasalahan serius di Indonesia. Dengan terus bertambahnya jumlah penduduk, maka jumlah produksi sampah pun cenderung terus bertambah. Berdasarkan data Indonesia National Plastic Action Partneship yang dirilis April 2020, sebanyak 67,2 juta ton sampah Indonesia masih menumpuk setiap tahunnya, dan 9 persennya atau sekitar 620 ribu ton masuk ke sungai, danau dan laut. Di Indonesia diperkirakan sebanyak 85.000 ton sampah dihasilkan per harinya, dengan perkiraan kenaikan jumlah mencapai 150.000 ton per hari pada tahun 2025. Sampah-sampah yang tidak dilakukan pengolahan di sumbernya, tentunya akan menyebabkan timbunan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Peraturan mengenai pengelolaan sampah sebenarnya sudah sangat lengkap dikeluarkan oleh Pemerintah. Pengelolaan sampah yang terdiri dari pengurangan dan penanganan sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan merupakan kewajiban setiap orang sebagaimana pasal 12 UU nomor 18 tahun 2008. Penyelenggaraan penanganan sampah lebih rinci lagi dijelaskan dalam Pasal 16, PP nomor 81 tahun 2012 bahwa penanganan sampah terdiri dari proses pemilahan, pengumpulan, pengangkatan, pengolahan dan proses akhir.
Menurut Guru Besar IPB University, Prof Arief Sabdo Yuwono pada diskusi yang diselenggarakan oleh Pusat Keteknikan Kehutanan dan Lingkungan pada tanggal 21 Maret 2022 di Rumah Kompos Pak Arief, menyatakan bahwa sebanyak 60 hingga 70 persen limbah rumah tangga adalah sampah organik. Limbah tersebut sebagian besar diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) padahal seharusnya bisa dikelola di tempat asal atau setiap rumah, ungkap Arief.
Prof Arief Sabdo Yuwono juga menyampaikan bahwa menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, sebanyak 80 persen masyarakat perkotaan setuju untuk memilah sampah, namun 74 persen tidak pernah memilah. Padahal sampah yang tidak dikelola dengan baik tidak hanya menyedot kas negara dalam pengelolaanya bahkan juga mengancam jiwa dan mencemari lingkungan.
Sebagai pakar dan praktisi pengelolaan sampah rumah tangga, Prof Arief Sabdo Yuwono memperkenalkan metode pengolahan sampah sederhana yang diberi nama “SABDO” yaitu Sebelas detik Aja Bio Degradasi Organik. Pengolahan sampah tersebut dilakukan di rumahnya di daerah Margajaya Bogor.
Metode dan teknologi yang dikembangkan ditujukan untuk mempercepat proses pengomposan sampah organik. Tapi, agen biodegradasi yang digunakannya berbeda dari bak komposting pada umumnya yang memanfaatkan konsorsium bakteri. Metode pengomposan sampah organic menggunakan larva Black Soldier Fly (BSF) atau Maggot sebagai agen pengurai. Bak composting yang digunakan didesain sedemikian rupa agar tidak bisa dimasuki tikus sehingga sampah tidak menimbulkan bau. Proses biodegradasi limbah organik juga didesain bisa langsung berjalan, tidak perlu menunggu kedatangan lalat BSF untuk bertelur. Hal itu karena Bak komposting SABDO diaplikasikan sekaligus dengan larva aktif BSF di dalamnya. Keunggulan lain metode ini, biodegradasi berlangsung dengan skala kebauan sangat rendah, yaitu -0,1, sehingga hampir tidak menimbulkan kesan bau.
Produk utama dari proses pengomposan di bak komposting SABDO, adalah kompos yang dapat digunakan menjadi media tanam. Penggunaan larva BSF selain prosesnya praktis juga dapat dipanen dan menjadi sumber protein dalam pembuatan pakan unggas, ikan atau ternak lainnya. Menurut akademisi di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan itu, larva BSF mengandung protein sebesar 30-40 persen dan sangat potensial sebagai pilihan sumber protein pakan yang selama ini sebagian besar masih diimpor.
Setelah sampah organik tertangani dengan baik melalui pengomposan, fokus selanjutnya adalah menangani sampah an organik. Secara sederhana, pengolahan sampah an organik di rumah kompos pa arief adalah dengan penanganan sesuai kelompok sampahnya. Untuk kelompok sampah metal, kertas dan barang yang memiliki nilai jual, penanganannya dapat bekerjasama dengan pihak ketiga seperti pemulung dan bank sampah terdekat. Sementara itu, kelompok sampah plastik diolah dengan cara pyrolysis menghasilkan bahan bakar minyak dan barang-barang berguna lainnya seperti pot tanaman. Kelompok terakhir yaitu sisa sampah yang tidak dapat diolah, ditampung di TPS untuk selanjutnya diangkut oleh petugas kebersihan ke TPA. Melalui pengelolaan sederhana sampah organik dan an organik seperti di Rumah Kompos Pak Arief, setidaknya mengurangi beban timbulan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Pengelolaan sampah secara sederhana dan praktis seperti di Rumah Kompos Pak Arief, secara prinsip dapat dicontoh dan diaplikasikan dalam pengelolaan sampah dari kegiatan wisata alam di kawasan hutan. Untuk pengelolaan sampah dari kegiatan wisata alam di kawasan hutan, dilakukan sesuai ciri khas identitas dan karakter sampah dari setiap lokasi pengelolaan (TN, TWA dsb). Langkah awal untuk menentukan identitas dan karakter sampah tersebut adalah dengan melakukan identifikasi dan karakterisasi sampah di setiap lokasi pengelolaan (TN, TWA dsb). Berdasarkan fraksi mayoritas sampah yang teridentifikasi, baru dapat ditetapkan pilihan alternatif teknologi yang tepat guna dan memperkirakan kebutuhan SDM serta biayanya. Melalui pengelolaan sampah langsung di sumbernya di lokasi-lokasi wisata alam, maka akan mengurangi beban Pemerintah Daerah dalam mengangkut dan mengolah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Kontributor: Johaerudin, S.Hut., M.Sc (Analis Kebijakan Ahli Muda)